love


0

AS-SUNNAH DAN IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Sabtu, 01 Maret 2014

BAB I
P E N D A H U L U A N
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Quran dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh As-Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, terdapat pula Ijtihad. Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Melalui makalah yang kecil lagi tipis ini, kami akan membahas mengenai As-Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam. Kami juga berusaha menjelaskan kepada pembaca sekelumit tentang kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai kedua sumber hukum Islam tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
AS-SUNNAH/HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A.      PENGERTIAN
Secara bahasa, hadis dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau segala tingkah laku yang Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”As-Sunnah”.
B.       DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadis, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Terjemahannya: “Akutelahmeninggalkankepada kalian duaperkara, kalian tidakakansesatuntuk (selamanya) selama kalian berpegangteguhkepadakeduanyayaituKitab Allah danSunnahNabi-Nya”
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadis karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

C.       HUBUNGAN AL-HADIS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
  1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadis : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadis: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
  1. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadis yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
  1. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut :“Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadis tersebut.

D.      DAPATKAH AS-SUNNAH BERDIRI SENDIRI DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadis adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadis yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

E.       APAKAH SEMUA PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI SUMBER HUKUM, YANG HARUS DIIKUTI OLEH SETIAP MUSLIM?
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
¤ Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
¤ Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
¤ Shalat Dhuha’
Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
¤ Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
¤ Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
¤ Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
¤ Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
¤ Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
¤ Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
¤ Haram menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.
Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.

BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang ‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal dari bahasa arab dari bentuk fi’il madli yaitu ijtahada, bentuk fi’il mudlarek yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yaitu ijtihadan yang artinya telah bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin.
Sedangkan menurut istilah, ijtihad adalah suatu pekerjaan yang menggunakan segala kesanggupan rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari seluruh masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid, perlu dipahami bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid bersifat relative, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan hasil ijtihad satu dengan yang lainnya.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
بذل وسعه وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
”pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi ijtihad adalah:
عبارة عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.”
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.

B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadis Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim, 11,t.th :62).

C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:

Syarat melakukan Ijtihad antara lain :
·           Mengerti dan memahami isi kandungan Al-Qur’an, juga Hadis yang berhubungan dengan hukum Islam, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
·           Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum.
·           Mampu berbahasa arab dengan baik, sebagai kelengkapan dan kesempurnaan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis
·           Mengerti dan memahami masalah-masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ (kesepakatan semua ahli ijtihad pada suatu masa pada hukum syara’), sehingga mujtahid tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan hasil ijma’ terdahulu
·           Mengetahui Ilmu Logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan ayang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

D. RUANG LINGKUP BERIJTIHAD
Ruang Lingkup/wilayah berijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Telah disepakati bahwa hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan dengan nash (Al-Qur’an dan Sunnah), apabila tidak dijumpai dalam keduanya atau dalil yang ada dianggap kurang jelas, maka digunakanlah Ijtihad untuk menentukan hukumnya. Sehingga tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash qath’iy.

E. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).

F. LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini:
 “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang yang peka dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S Al-Anfal:22)
“Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’:59)
Untuk memberikan bukti bahwa ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada masa nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang artinya sebagai berikut:
بم تقضى؟ قال : بما فى كتاب الله، قال : فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله، قال : فان لم تجد فيما قضى به رسول الله؟، قال : اجتهد برأيى، قال : الحمد لله الذى وفق رسول رسوله
“Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi Mahammad SAW berkata: ‘bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?’, jawabnya: ‘saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana kalau kau tidak mendapati dalam Al-Qur’an?’, jawabnya: ‘dengan sunnah nabi’, selanjutnya nabi berkata: ‘bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?’, jawabnya: ‘saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran saya’, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah (Mu’adz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam) sehingga mereka mau mengucapkan syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang benar”

G. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau ijtihad kelompok adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu masalah untuk menentukan suatu hukum.

H. KEDUDUKAN IJTIHAD
a.Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b.Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku di daearah lain.
c.Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
d.Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.

I. METODE IJTIHAD
a.QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa Nabi Muhammad SAW, ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b.IJMA’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
c.ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Dengan kata lain menetapkan hukum masalah yang tidak ditentukan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun hadis yang didasarkan atas kepentingan umum (kemaslahatan) umum dan demi keadilan. Sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa peceklik.
d.MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,
menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Madzhab Sababi
1.         Urf (Adat Kebiasaan)
Segala sesuatu yang telah menjadi kebiasan suatu masyarakat dan dijalankan terus menerus, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan
2.         Madzhab Sahabi
Perkataan sahabat yang bukan didasarkan atas pikiran semata-mata adalah menjadi hujjah umat Islam.







0 komentar:

Posting Komentar