BAB I
P E N D A H U L U A N
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan
berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula.
Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah
merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan
penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh As-Sunnah secara
komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh
serta berkesinambungan.
Selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, terdapat pula
Ijtihad. Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda
pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada
massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai
landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Melalui makalah yang kecil lagi tipis ini, kami akan
membahas mengenai As-Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam. Kami juga
berusaha menjelaskan kepada pembaca sekelumit tentang kedua perkara di atas,
dan juga menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai kedua sumber hukum Islam
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
AS-SUNNAH/HADIS
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A.
PENGERTIAN
Secara bahasa, hadis dapat berarti baru, dekat
dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau segala tingkah laku yang Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Akan tetapi
para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan
Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula
perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai dengan ”As-Sunnah”.
B.
DASAR ALASAN
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sunnah adalah
sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber
hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum
Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadis,
ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain
sebagai berikut:
تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Terjemahannya: “Akutelahmeninggalkankepada kalian duaperkara,
kalian tidakakansesatuntuk (selamanya) selama kalian berpegangteguhkepadakeduanyayaituKitab
Allah danSunnahNabi-Nya”
1. Setiap
Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54,
al-Maidah: 92).
2. Patuh
kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran:
31)
3. Orang
yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).
4. Berhukum
terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain
mengapa umat Islam berpegang pada hadis karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara
yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam
Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai
sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam
berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji
dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya
berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru
Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam
hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung
makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C.
HUBUNGAN AL-HADIS/AS-SUNNAH
DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan
dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada
ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan
dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
- Bayan
Tafsir,
yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadis :
“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu
: “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadis: “Khudzu ‘anni manasikakum”
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an
“Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
- Bayan
Taqrir,
yaitu As-Sunnah
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadis
yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
- Bayan
Taudhih,
yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi
: “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan)
terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut
:“Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa
berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang
kemudian dijawab dengan hadis tersebut.
D.
DAPATKAH
AS-SUNNAH BERDIRI SENDIRI DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam
pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadis adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas
suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun
demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa
dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran),
ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau
persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap
Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud
Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas
dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya
dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya,
dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa
fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang
dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka apa saja
yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum
sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya
kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan
keduanya adalah soal adanya hadis yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada
atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya
membahas.
Seperti dalam
soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah
sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya
secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu
tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah
menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam
kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh
Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang
membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung
untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
E.
APAKAH SEMUA
PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW DAPAT BERFUNGSI SEBAGAI SUMBER HUKUM, YANG HARUS
DIIKUTI OLEH SETIAP MUSLIM?
Pada dasarnya
seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib
menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.
Namun perlu
juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk
diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan
tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai
detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau.
Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di
sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah.
Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya.
Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh
bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa
perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila
dikerjakan. Contohnya antara lain:
¤ Berpuasa
Wishal
Puasa wishal
adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi
beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
¤ Boleh
beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya
adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan
umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2. Yang
wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari
sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
¤ Shalat
Dhuha’
Shalat dhuha’
yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
¤ Qiyamullail
Demikian juga
dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi
kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
¤ Bersiwak
Selain itu juga
ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya
Sunnah saja.
¤ Bermusyawarah
Hukumnya wajib
bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
¤ Menyembelih
kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib
bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3. Yang
haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
¤ Menerima
harta zakat
Semiskin apapun
seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal
yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
¤ Makan
makanan yang berbau
Segala jenis
makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang
dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat
kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi
umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai
dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat
Muhammad SAW.
¤ Haram
menikahi wanita ahlulkitab
Karena isteri
Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi
beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.
Sedangkan bagi
umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan
oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal
yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan
bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah
dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga
beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya
waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan
setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di
atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua
dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah
yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz
yang ‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang
memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah
berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan
yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh
karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad
menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad berasal
dari bahasa arab dari bentuk fi’il madli yaitu ijtahada, bentuk fi’il mudlarek
yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yaitu ijtihadan yang artinya telah bersungguh-sungguh,
mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin.
Sedangkan
menurut istilah, ijtihad adalah suatu pekerjaan yang menggunakan segala
kesanggupan rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari
seluruh masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Orang yang
melakukan ijtihad disebut mujtahid, perlu dipahami bahwa hasil ijtihad dari
seorang mujtahid bersifat relative, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan
hasil ijtihad satu dengan yang lainnya.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin
Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa
adalah:
بذل وسعه وطاقته فى
طلبة ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
”pengesahan kesanggupan dan
kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung
yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi
ijtihad adalah:
عبارة عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai
pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam
artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat
An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.”
Semua kata itu berarti pengerahan segala
kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti
berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad
adalah:
بذل الفقيه وسعة فى
استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih
dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci”.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad: adapun Sunnah yang menjadi
dasar ijtihad diantaranya Hadis Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam
Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد
فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua
pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang
mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan
dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
Syarat melakukan
Ijtihad antara lain :
·
Mengerti dan memahami isi kandungan Al-Qur’an, juga Hadis yang
berhubungan dengan hukum Islam, dalam arti mampu membahas ayat-ayat tersebut
untuk menggali hukum.
·
Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang
berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu membahas hadis-hadis
tersebut untuk menggali hukum.
·
Mampu berbahasa arab dengan baik, sebagai kelengkapan dan
kesempurnaan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadis
·
Mengerti dan memahami masalah-masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma’ (kesepakatan semua ahli ijtihad pada suatu masa pada
hukum syara’), sehingga mujtahid tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan
hasil ijma’ terdahulu
·
Mengetahui Ilmu Logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan ayang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
D. RUANG LINGKUP BERIJTIHAD
Ruang Lingkup/wilayah berijtihad adalah masalah
yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Telah disepakati bahwa hukum-hukum Islam yang
berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan dengan nash
(Al-Qur’an dan Sunnah), apabila tidak dijumpai dalam keduanya atau dalil yang
ada dianggap kurang jelas, maka digunakanlah Ijtihad untuk menentukan hukumnya.
Sehingga tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash
qath’iy.
E. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan
dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib
kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi
kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi
dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya
maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria
mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum
ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang
melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika
salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang
lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika
dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika
dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk,
1994:189).
F. LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal,
sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang yang peka dan tuli yang mengerti
apapun” (Q.S Al-Anfal:22)
“Hai orang-orang beriman taatilah Alloh dan RosulNya dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul, jika kamu benar-benar beriman kepada
Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. An-Nisa’:59)
Untuk memberikan bukti bahwa ijtihad pernah dilakukan
para sahabat, pada masa nabi sekalipun hadist yang di riwayatkan oleh
Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang artinya sebagai berikut:
بم تقضى؟ قال : بما فى
كتاب الله، قال : فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله، قال
: فان لم تجد فيما قضى به رسول الله؟، قال : اجتهد برأيى، قال : الحمد لله الذى
وفق رسول رسوله
“Pada waktu Rosulullah SAW
mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi Mahammad SAW berkata: ‘bagaimana
jika engkau diserahi urusan peradilan?’, jawabnya: ‘saya menetapkan perkara
berdasarkan Al-Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana kalau
kau tidak mendapati dalam Al-Qur’an?’, jawabnya: ‘dengan sunnah nabi’,
selanjutnya nabi berkata: ‘bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?’, jawabnya:
‘saya akan mengerahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran
saya’, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada dengan mengucapkan segala puji
bagi Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah
(Mu’adz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para
sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi khalifah, waktu itu terdapat sekelompok
yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan
Abu Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab dengan alasan menggunakan sabda
Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk
memerangi orang banyak (yang mengganggu islam) sehingga mereka mau mengucapkan
syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya, terjagalah darah dan harta
mereka, kecuali dengan cara yang benar”
G. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi
menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan
yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan
hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau ijtihad kelompok adalah ijtihad yang
dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu masalah untuk
menentukan suatu hukum.
H. KEDUDUKAN IJTIHAD
a.Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah
bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan analisa
akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka
hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang
lain bisa tidak berlaku.
b.Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh
tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah
tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai
situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun
sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku di daearah
lain.
c.Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi,
akibat dan permasalahan umum (umat)
d.Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah
ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an
dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah
bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
I. METODE IJTIHAD
a.QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy.
Makna aslinya adalah mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan
menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa Nabi Muhammad SAW, ada belum ada
permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam
menentukan zakat.
b.IJMA’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari
kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua
makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab
itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan
hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
c.ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna
aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu menurut
terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan keadilan. Dengan kata lain menetapkan hukum masalah yang tidak
ditentukan secara rinci dalam Al-Qur’an maupun hadis yang didasarkan atas
kepentingan umum (kemaslahatan) umum dan demi keadilan. Sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab
yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa
peceklik.
d.MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang
berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan
umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh
metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan
judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung
masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat
kaidah,
“menolak
kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila
berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang
lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Madzhab Sababi
1.
Urf (Adat Kebiasaan)
Segala sesuatu
yang telah menjadi kebiasan suatu masyarakat dan dijalankan terus menerus, baik
itu berupa perkataan maupun perbuatan
2.
Madzhab Sahabi
Perkataan
sahabat yang bukan didasarkan atas pikiran semata-mata adalah menjadi hujjah
umat Islam.
0 komentar:
Posting Komentar